SUMENEP, MPD – Gelar sarjana bukan sekadar rangkaian huruf di belakang nama. Ia adalah bukti perjalanan intelektual, pengabdian terhadap ilmu, dan penghormatan kepada dunia pendidikan. Bagi sebagian orang, selembar ijazah hanya menjadi syarat administratif. Namun bagi sebagian lain, termasuk saya sendiri, Erfandi sebagai Pemimpin Redaksi Suarademokrasi dan Penademokrasi—gelar Sarjana Hukum yang diraih di Universitas Wiraraja Sumenep merupakan awal perjalanan panjang dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” adalah sila kelima Pancasila yang berarti terwujudnya kehidupan yang adil dan merata bagi seluruh warga negara Indonesia dalam segala bidang, yaitu hak dan kewajiban, hukum, ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Ini mencakup kesempatan yang sama dalam mengakses kesejahteraan, perlakuan yang adil tanpa memandang suku, agama, ras, atau golongan, serta keseimbangan antara hak dan kewajiban demi kemakmuran bersama.
Dalam dunia jurnalistik, ilmu hukum yang kita dapatkan bukan hanya bermanfaat, tetapi menjadi fondasi moral dalam mengungkap fakta, menegakkan etika, dan membela kepentingan publik. Pendidikan hukum mengajarkan bahwa setiap orang memiliki hak, setiap peristiwa harus diuji kebenarannya, dan setiap tindakan kekuasaan wajib diawasi oleh nurani serta hukum itu sendiri.
Baca Juga: Gelar Sarjana Hukum, Awal Tanggung Jawab Menegakkan Keadilan
Namun satu hal penting harus diingat:
“Gelar bukan penentu kemuliaan seseorang, sebab ilmu tanpa iman hanyalah kesombongan yang dibungkus kecerdasan.” Karena, ilmu tanpa Iman hanya akan melahirkan kezaliman di dalam kehidupan bermasyarakat.
Banyak orang memiliki gelar dan ijazah sebagai bukti telah menempuh pendidikan tinggi. Namun ijazah tidak pernah mampu menjamin bahwa seseorang itu beriman, bertakwa, dan amanah dalam menggunakan ilmunya. Hari ini kita melihat fakta yang ironis: ada orang bersekolah tinggi, namun ilmunya dipakai untuk memanipulasi hukum, memakan uang hak rakyat, atau meminta biaya anggaran kegiatan yang mahal tapi tidak sesuai harapan, yang seolah telah menginjak mereka yang tidak berdaya.
“Ketika ilmu tak lagi dipandu oleh hati, maka nurani menjadi buta, dan kekuasaan menjadi tirani.”
Sejatinya, pendidikan paling tinggi bukan gelar akademik, melainkan ketundukan manusia kepada Allah SWT. Sebab hanya iman dan ketakwaan yang mampu menjaga ilmu agar tetap berada di jalan kebenaran. Orang bergelar tanpa keimanan dapat menjadi serigala yang bersembunyi dalam jubah kecerdasan.
Semakin tinggi ilmu yang kita punya, Semakin berat tanggung jawabnya yang akan kita emban. Gelar sarjana hukum bukan akhir perjalanan, tetapi awal ujian sesungguhnya. Ilmu menuntut tanggung jawab moral, etika, dan keberanian untuk berpihak pada kebenaran meskipun sering kali kebenaran itu menyakitkan dan berbiaya sosial.
Sebagai jurnalis, saya percaya:
“Ketika pena menulis kebenaran, ia menjadi pedang yang tak terlihat namun mampu merobek kezaliman.”
Sekalipun banyak tantangan, tekanan, dan risiko, suara rakyat harus tetap dikawal. Media hadir bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi menjaga akal sehat bangsa. Maka, gelar sarjana hukum yang kita peroleh bukan untuk gagah-gagahan, tetapi untuk memastikan bahwa setiap berita yang ditulis berdiri di atas dasar fakta, keadilan, dan keberpihakan kepada mereka yang tidak mampu bersuara.
Pesan yang bisa kita sampaikan dalam kehidupan: Kejujuran adalah Nafas Peradaban. Dalam perjalanan hidup, manusia tidak dinilai dari gelarnya, hartanya, atau jabatannya. Ia dinilai dari sikapnya terhadap kebenaran dan keluhurannya dalam memperjuangkan hak orang lain.
Berikut beberapa pesan kehidupan yang menjadi pengingat bagi kita semua:
✅ “Ilmu adalah cahaya, tetapi hanya hati yang bersih mampu menampungnya.”
✅ “Semakin tinggi pohon menjulang, semakin dalam akarnya harus menghujam.”
✅ “Gelar dapat membeli kekaguman, tetapi hanya akhlak yang membeli kepercayaan.”
✅ “Keadilan tidak lahir dari suara yang paling keras, tetapi dari hati yang paling jujur.”
✅ “Berjuanglah untuk kebenaran, meski kaki gemetar dan dunia menertawakanmu.”
Pada akhirnya, menjadi sarjana hukum bukan tentang siapa yang paling pintar, tetapi siapa yang paling berguna memanfaatkan ilmunya untuk orang banyak. Jurnalisme bukan tentang siapa yang paling terkenal, tetapi siapa yang paling amanah dalam menulis kebenaran dan fakta.
Dan selama rakyat kecil masih tertindas, selama kebenaran masih dibungkam, maka perjuangan kita masih panjang. Media Suarademokrasi akan terus mengawal, media Penademokrasi akan terus bersuara, dan pena kita akan tetap berjalan—sebab keadilan adalah hak setiap warga bangsa.
“Ilmu yang kita punya, semua itu adalah titipan Allah. Gunakan untuk kebenaran membela yang lemah, bukan menindas yang tak berdaya karena demi uang dan jabatan.” pesan Erfandi Pemimpin Redaksi Suarademokrasi & Penademokrasi, wisuda Sarjana Hukum, Universitas Wiraraja Sumenep, 2025.
“Setetes ilmu yang bermanfaat lebih berharga dari lautan ilmu yang tidak diamalkan; sebab dari setetes itu Allah menumbuhkan keselamatan dunia dan akhirat. Karena, ilmu yang sedikit tetapi bermanfaat akan menuntun kita menuju keselamatan, sedangkan ilmu yang banyak namun disalahgunakan hanya akan menyeret pemiliknya pada kehancuran.”
“Allah tidak melihat seberapa banyak ilmu yang kita miliki, tetapi seberapa besar manfaatnya bagi sesama. Tapi ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah, namun setetes ilmu yang diamalkan dapat menjadi tiket keselamatan dunia dan akhirat. Jika ilmu menjadi cahaya, maka amal adalah jalannya. Setetes ilmu yang menerangi kehidupan lebih mulia daripada seribu teori yang hanya menjadi kesombongan.”




