Moh. Iksan Tanggapi Tudingan “Pembohongan Publik” Hari Jadi Sumenep

SUMENEP PDN – Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disbudporapar) Kabupaten Sumenep, Moh Iksan, merespons tudingan seorang budayawan dan sejarawan Sumenep, Tadjul, yang menyebut peringatan hari jadi Kabupaten Sumenep sebagai “pembohongan publik.” Peringatan ini, yang digelar setiap tanggal 31 Oktober, memperingati prosesi penobatan Arya Wiraraja sebagai Adipati Sumenep pada tahun 1269.

Iksan menegaskan bahwa peringatan tersebut sudah berjalan sejak lama dan telah menjadi tradisi yang diwariskan sejak zaman kepemimpinan Soekarno Marsaid dan K.H. Ramdhan Siraj hingga saat ini. “Penetapan hari jadi Kabupaten Sumenep ini telah ada sejak pemerintahan dulu, dan kami hanya melanjutkan tradisi yang telah berlangsung berabad-abad. Setiap 31 Oktober, kami mengenang prosesi pengangkatan Arya Wiraraja yang terjadi 755 tahun lalu,” jelasnya.

Ia juga mempertanyakan alasan Tadjul baru sekarang mengungkapkan keraguannya atas prosesi penobatan Arya Wiraraja sebagai Adipati Sumenep di hari jadi Sumenep tersebut dianggap sebagai kebohongan. “Pertanyaan saya, mengapa baru sekarang Tadjul menganggap hal ini sebagai kebohongan dan halusinasi? Mengapa bukan sejak dulu? Tradisi ini telah dilakukan puluhan tahun dan sudah menjadi identitas budaya Sumenep,” katanya.

Baca Juga: Kontroversi Sejarah: Hari Jadi Sumenep Dianggap “Pembohongan Publik” Oleh Budayawan

Iksan juga menyampaikan tentang efisiensi dalam pelaksanaan peringatan hari jadi kabupaten Sumenep tahun ini. Jika sebelumnya anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp600 juta hingga Rp800 juta, kali ini pemerintah hanya menganggarkan sekitar Rp200 juta dengan tetap menjaga kemeriahan perayaan melalui pendekatan Pentahelix, yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, pelaku budaya, akademisi, dan sektor bisnis.

“Dengan konsep Pentahelix, kami tetap bisa menjalankan kegiatan ini meskipun anggarannya hanya Rp200 juta. Justru, kami mampu mengembangkan sektor pariwisata dan budaya dengan lebih efisien. Para seniman, budayawan, hingga musisi telah kami siapkan,” ujar Iksan.

Menurutnya, di tahun ini dalam kegiatan peringatan hari jadi melibatkan berbagai elemen budaya lokal, seperti lima grup musik tong-tong yang masing-masing terdiri dari sekitar 60 anggota, serta penari kolosal, arsitek, pengrajin properti, dan seniman lainnya. Dengan keterlibatan sekitar 300 orang lebih, acara ini memberikan peluang ekonomi bagi para pelaku seni lokal sekaligus menjadi ajang pelestarian budaya.

Iksan menyatakan bahwa peringatan hari jadi Sumenep tidak hanya sebagai tradisi, tetapi juga memberikan dampak ekonomi positif bagi masyarakat. “Ribuan pengunjung dari berbagai daerah datang untuk menyaksikan acara ini. Mereka pasti akan menikmati kuliner lokal dan turut menggerakkan perekonomian daerah,” tambahnya. Kehadiran tamu undangan dari berbagai kota dan kabupaten, serta pelaksanaan pawai budaya, diharapkan turut meningkatkan potensi pariwisata dan perekonomian masyarakat setempat.

Menanggapi lebih lanjut tudingan bahwa peringatan hari jadi Sumenep sebagai “halusinasi,” Iksan menegaskan bahwa prosesi ini telah menjadi bagian dari sejarah yang diwariskan turun-temurun. “Jika ada yang ingin memberikan masukan, kami sangat terbuka. Namun, menyebut bahwa tanggal 31 Oktober sebagai hari jadi adalah halusinasi rasanya sudah terlambat, karena prosesi ini sudah menjadi bagian penting dari identitas Sumenep sejak lama,” ujarnya.

Dengan pelaksanaan yang mengedepankan kearifan lokal dan melibatkan masyarakat luas, Iksan berharap peringatan hari jadi Kabupaten Sumenep dapat terus berlanjut dan menjadi inspirasi bagi generasi muda. Ia juga menyampaikan apresiasi kepada masyarakat Sumenep yang berkontribusi dan mendukung kegiatan ini, dengan harapan tradisi ini dapat semakin mengukuhkan Sumenep sebagai daerah yang kaya budaya dan dikenal di kancah nasional maupun internasional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *